RUU BPJS hanyalah alat bagi penguasa untuk mengelola hasil jarahan dari rakyat. Pembahasan Undang-Undang (UU) Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) sebagai tindak lanjut UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melahirkan pro dan kontra.
Pemerintah dan DPR memiliki tiga perbedaan konsep. Perbedaan konsep itu antara lain sifat BPJS, serta status badan hukum dan pembentukannya. Perbedaan tentang sifat terkait apakah BPJS tunggal atau majemuk. Status badan hukum terkait BUMN atau non-BUMN. Adapun pembentukan terkait dengan penetapan atau pengaturan. Namun, gesekan tajam mengenai pembahasan RUU itu juga terjadi masyarakat. Sejumlah serikat buruh menginginkan supaya RUU itu segera disahkan, sedangkan buruh informal dan rakyat miskin tidak menginginkan pengesahan RUU itu.
Penolakan terkait erat dengan salah satu pasal dalam UU SJSN. Pasal 17 UU itu memerintahkan penarikan iuran kepada peserta sistem jaminan. Ayat (1) UU itu menyebut setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
Selanjutnya, Ayat (2) menyebut setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala. Pasal tersebut saat ini tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
UU SJSN ini ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada masa akhir jabatannya 19 Oktober 2004. UU ini belum jalan karena RUU BPJS belum disetujui oleh pemerintah saat ini. Namun yang mengherankan, semua fraksi di Komisi IX DPR, serikat-serikat buruh, dan LSM-LSM yang selama ini sesumbar membela rakyat dan nasib buruh terus mendorong pengesahan RUU BPJS. UU ini padahal mengesahkan penghisapan terhadap kaum buruh, PNS, dan Prajurit TNI/Polri. Mereka saat ini sebenarnya hidup pas-pasan.
“Dengan lahirnya UU ini, lima jaminan kesehatan, kecelakaan, hari tua, pensiun, dan kematian akan ditanggung negara, dengan cara diambil dari upah pekerja dan potongan upah buruh,” kata anggota Komisi IX dari Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka.
Keinginan itu didukung intelektual Universitas Indonesia (UI) Hasbulah Thabrani, Faisal Basri, dan Bambang Sulastomo.
Di luar intelektual, keinginan itu didukung sejumlah pihak yang tergabung di Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) dan Marius Widjajarta dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan (YPKK). Pada peringatan Hari Buruh Sedunia 1 Mei lalu, puluhan ribu buruh dikerahkan mendukung UU SJSN dan mendesak pengesahan RUU BPJS.
Eksploitasi
Menanggapi hal itu, Ekonom dari UI Sri Edi Swasono mengatakan, Pasal 17 UU SJSN sangat mengerikan. Negara melepas kewajiban dan tanggung jawabnya kepada rakyat dengan menitipkan nasib rakyat pekerja kepada pihak ketiga. Padahal, pihak ketiga adalah kekuatan pasar.
UU SJSN juga telah menggeser kewajiban negara dalam tugasnya menghormati hak sosial rakyat kepada pihak ketiga dalam bentuk wajib membayar iuran yang besarnya ditentukan pihak lain. “Jaminan Sosial telah direduksi maknanya menjadi murni bisnis asuransi. Hak Sosial Rakyat berubah menjadi komoditas dagang, dan ini merupakan gerakan ideologis neoliberalisme yang bertentangan dengan UUD 1945,” paparnya.
Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan, Pasal 17 mengeksploitasi rakyat untuk keuntungan BPJS. Pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk mengeksploitasi rakyatnya demi keuntungan pengelola asuransi, meskipun milik pemerintah, sangat tidak adil bagi rakyat.
“Jaminan sosial sesuai UUD 45 adalah kewajiban pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedang asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Pekerja informal, orang tua yang bukan pensiunan, bayi dan anak-anak yang tidak termasuk fakir miskin tetapi tidak mampu membayar, dalam UU ini tidak akan mendapatkan perlindungan negara,” paparnya.
Argumen itu diperkuat dari sisi ketatanegaraan oleh ahli tata negara Margarito Kamis. Ia mengatakan, aturan tersebut telah mereduksi hakikat warga negara hanya menjadi sesuatu yang bersifat numerik. Bahkan norma ini juga mengubah hakikat negara sebagai organisasi kekuasaan yang diperuntukkan tidak untuk satu golongan, menjadi satu badan hukum komersial yang diperuntukkan satu golongan, yaitu pekerja.
Menurut Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Poppy Ismalina, aturan tersebut sulit diterapkan. Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia 2008, yang dikeluarkan BPS, daya beli masyarakat Indonesia rata-rata Rp 628.300 pada 2008 dan pada 1996 sebesar Rp 587.400. Dalam 11 tahun hanya meningkat sebesar Rp 40.900.
“Negara belum pernah memberikan jaminan sosial apa pun pada rakyatnya kecuali yang berdaya beli rendah, kecuali Jamkesmas. Pemberlakuan UU SJSN khususnya Pasal 17 justru negara melakukan pemerasan pada rakyatnya,” ujarnya. Bahasa yang sederhana diungkapkan Rahman, seorang tukang ojek di Jakarta Barat. ”Ini namanya menjarah. Hak yang seharusnya saya dapat kok malah disuruh beli,” katanya.
“Jaminan Sosial telah direduksi maknanya menjadi murni bisnis asuransi. Hak Sosial Rakyat berubah menjadi komoditas dagang, dan ini merupakan gerakan ideologis neoliberalisme yang bertentangan dengan UUD 1945.” (Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/ruu-bpjs-rame-rame-menjarah-hak-rakyat/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar