RAKYAT SEHAT NEGARA KUAT

Senin, 02 Mei 2011

Ketika Negara Berdagang dengan Rakyatnya

Seluruh rakyat berhak mendapat jaminan sosial, tidak boleh dibedakan antara yang miskin dan yang kaya.(foto:dok/wn.com)
Cahaya matahari mulai terasa panas. Atap tenda berwarna oranye membuat muka, kepala, dan badan terasa bercucuran keringat.
Pada 10 April 2011, ratusan orang sedang bertandang ke sebuah taman di Utan Panjang, Kemayoran, Jakarta Pusat (Jakpus). Terletak di sebuah gang sempit di RW 07, taman itu punya acara “mendengarkan” keluhan rakyat miskin di Jakarta.
Saat itu, sejumlah pejabat hadir tak hanya mendengarkan tetapi juga memberi solusi. Mereka antara lain Wakil Ketua MPR Hajriyanto Tohari, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari DKI Jakarta AM Fatwa, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Siti Fadilah Supari, anggota DPRD DKI dari Komisi E Iman Satriya, Wali Kota Jakpus Saefullah, dan Yudhita Indah Primaningtyas dari Dinas Kesehatan DKI.
“Pelaksana jaminan sesuai perintah undang-undang (UU) adalah negara. Tidak boleh diserahkan pada pihak ketiga. Karena ini tanggung jawab negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah,” kata Hajriyanto mengawali ceramahnya. Spontan, pernyataan itu disambut tepuk tangan dari semua yang hadir.
Mereka umumnya keluarga tidak mampu. Acara itu sendiri digelar oleh warga setempat dibantu Romo Ismartono dari Sahabat Insan dan Sriwijaya Air. Selain dialog publik, rakyat mendapatkan pengobatan gratis dari yayasan Kristen Bina Mandiri.
Jaminan sosial memang menjadi persoalan berkepanjangan yang tak kunjung tuntas hingga kini. Keberadaan jaminan sosial ini padahal menjadi amanat UUD 1945 dan menjadi tanggung jawab negara guna melindungi rakyatnya. Seperti diketahui, biaya pengobatan sangat tinggi dan bahkan untuk kalangan tertentu tidak terjangkau. Apalagi, banyak pegawai rumah sakit maupun puskesmas di Indonesia menjadikan kesehatan bukan sebagai pelayanan, melainkan bisnis.
Pemerintah maupun DPR sendiri telah mengesahkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Namun, UU yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri di akhir masa jabatannya itu belum bisa dilaksanakan karena belum adanya Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS). RUU tentang badan tersebut tengah digodok di parlemen. Pemerintah dan DPR beberapa kali deadlock terkait dengan salah satu materi.
Meski demikian, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menelurkan kebijakan tentang jaminan kesehatan secara cuma-cuma bagi pasien miskin dan hampir miskin. Kebijakan ini telah dilakukan di sejumlah wilayah di Indonesia.
Cukup Anggaran
Tak hanya menjadi kontroversi bagi kalangan dewan dan eksekutif, UU SJSN ini juga menjadi perdebatan tak terelakkan di akar rumput. Sejumlah serikat buruh menginginkan rakyat membayar iuran kepada negara. Namun, sejumlah serikat buruh lainnya dan rakyat miskin utamanya menolak hal tersebut.
Mereka beragumentasi, rakyat selama ini sudah membayar pajak, sehingga negara tak berhak lagi menarik iuran. Apalagi, iuran tersebut dikelola perusahaan asuransi yang sudah terbukti membawa malapetaka di Amerika Serikat (AS).
Siti Fadilah Supari mengatakan, penarikan iuran terhadap rakyat untuk pelaksanaan SJSN tidak tepat. Alasan negara tidak memiliki uang juga tidak bisa dibenarkan. Ini karena pemerintah sebenarnya memiliki dana yang cukup dari APBN untuk membiayai SJSN.
Iuran SJSN dapat diambil dari dana bantuan sosial yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga negara yang jumlahnya Rp 61,2 triliun. Dana itu biasanya digunakan untuk berbagai sumbangan kepada masyarakat seperti sumbangan pembangunan masjid atau kegiatan sosial lainnya, sedangkan pelaksanaan SJSN hanya dibutuhkan Rp 40 triliun.
Anggaran sebesar itu sudah dapat mencakup biaya kesehatan seluruh rakyat. "Adalah tugas pemerintah untuk melindungi rakyat, jangan rakyat disuruh melindungi diri sendiri," katanya.
Berdasarkan anggaran 2010, total dana bantuan sosial di seluruh lembaga negara mencapai Rp 61,2 trilun dan pada 2011 mencapai Rp 59,1 triliun. Dana bantuan sosial itu antara lain terdapat di Kementerian Dalam Negeri sebesar Rp 8,6 triliun, Kementerian Pendidikan Rp 31,2 triliun, Kementerian Kesehatan Rp 3,7 triliun, Kementerian Agama Rp 6,8 triliun, Kementerian Sosial Rp 2,1 triliun, dan Departemen Pekerjaan Umum Rp 2,5 triliun.
Oleh karena itu, ia menegaskan seluruh rakyat berhak mendapat jaminan sosial, tidak boleh dibedakan antara yang miskin dan yang kaya, dan pemerintah berkewajiban memberikan jaminan tersebut. Tak seharusnya masyarakat memberikan uang iuran lagi. “Angka pengangguran masih tinggi, kalau buat makan saja susah, bagaimana mau membayar uang iuran," katanya.
Sementara itu, seorang peserta menceletuk, “Emang negara mau bikin rakyatnya mati?” “Angka pengangguran masih tinggi, kalau buat makan saja susah, bagaimana mau membayar uang iuran." Tutut Herlina (SUMBER: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/ketika-negara-berdagang-dengan-rakyatnya/)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar