RAKYAT SEHAT NEGARA KUAT

Kamis, 26 Mei 2011

Saksi: Kami tak mampu bayar iuran SJSN

Jakarta - Majelis hakim konstitusi menggelar kembali sidang pengujian Undang-undang (PUU) Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan mendengarkan keterangan saksi dari pemohon yang mengaku keberatan bila harus membayar premi (iuran) asuransi.

"Harapan saya negara bisa menanggung itu, karena dengan hasil yang didapat hanya cukup untuk makan sehari-hari saja itu pun masih susah," kata Rosidah, yang hanya mengantungkan hidupnya dari pensiunan almarhum suaminya sebagai anggota Angkatan Darat, saat memberikan keterangan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (18/5).

Untuk memenuhi kebutuhannya dan empat orang anaknya, Rosidah tidak dapat mengandalkan uang pensiunan yang dia terima setiap bulannya karena uang pensiunan yang diterima tidak utuh. Padahal, tidak semua anggota keluargan Rosidah ditanggung oleh ASKES

"Pensiunan yang saya terima sebesar Rp1.4 juta tetapi itu belum masuk pada potongan sana-sini yang salah satunya potongan tehadap asuransi (ASKES). Sehingga saya hanya menerima kurang lebih 30 ribu rupiah," papar dia.

Kuasa Hukum Pemohon Hermawanto menyatakan bahwa kesaksian yang diberikan oleh pemohon membuktikan bahwa banyak rakyat yang sebenarnya untuk sehari-hari saja sulit bahkan tidak bisa menabung untuk hari tua.

Bila negara, lanjut dia, membiarkan rakyat membayar premi SJSN artinya negara tidak melakukan apa-apa untuk menjamin kesehatan bangsa. "Jangankan untuk hari tua, untuk hari ini saja mereka masih susah, dan itu telah melanggar UUD 45," tandas Hermawanto.

Pada sidang sebelumnya, pemohon menganggap Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN seharusnya merupakan sarana negara menjalankan kewajiban untuk memenuhi hak asasi setiap warga negaranya, bukan menjadi alat negara menegasikan kewajibannya terhadap warga negara. Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya yang dijamin UUD´45 terlanggar akibat berlakunya Pasal 17 UU Sistem Jamsosnas.(Sumber: http://www.primaironline.com/berita/sosial/197185-saksi-kami-tak-mampu-bayar-iuran-sjsn)

Jumat, 20 Mei 2011

Pemerintah Kota Bekasi akhirnya memberikan dukungan penolakan terhadap RUU BPJS

Bekasi-WKBPemerintah Kota Bekasi akhirnya memberikan dukungan penolakan terhadap RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). RUU BPJS dianggap merupakan pembodohan terhadap rakyat, karena rakyat akan dibebankan biaya asuransi untuk mendapatkan surat keterangan tidak mampu (SKTM).
Dalam RUU tersebut disebutkan bahwa 'jaminan sosial' adalah sama dengan 'asuransi sosial'. Asuransi sosial sendiri merupakan mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran. Artinya, rakyat dipaksa membayar asuransi yang seharusnya sudah dijamin oleh pemerintah.
Adanya rencana kebijakan yang tidak pro-rakyat ini, anggota Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) mengadakan unjuk rasa menentang rencana kebijakan 'asuransi sosial' tersebut. Humas DKR, Fariq Libarani Sandhi mengungkapkan, DKR menentang dengan akan diadakannya perjanjian atau Memorandum Of Understanding (MOU) dengan PT. ASKES.
Dalam audiensi bersama dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Wakil Direktur Utama RSUD Kota Bekasi, serta Kepala Bagian Hukum Pemkot Bekasi, akhirnya dicapai kesepakatan bahwa pemerintah Kota Bekasi tidak akan menyetujui adanya RUU BPJS tentang ‘asuransi sosial’ tersebut. Pemerintah Kota Bekasi berjanji, jaminan kesehatan untuk rakyat miskin tetap akan menjadi tanggung jawab permerintah kota.
“Selain penolakan terhadap ‘asuransi sosial, kami juga meminta agar RSUD Kota Bekasi juga memberikan pelayanan maksimal terutama untuk rakyat miskin” terang Sandhi, Kamis (19/5). Seperti contoh kejadian pada hari Rabu (18/5) di RSUD Kota dimana anggota keluarga tidak bisa mengambil jenazah keluarganya dikarenakan harus membayar biaya perawatan sebesar sembilan juta rupiah, padahal keluarga yang berasal dari kecamatan Rawalumbu tersebut merupakan keluarga kurang mampu. “Kami menilai RSUD bertindak lamban dalam penanganan kasus pasien miskin,” ujarnya.
Pendataan warga miskin di Kota Bekasi juga masih mengalami kesimpangsiuran data. “Terdapat selisih data warga miskin sebanyak 25 ribu jiwa antara data dari BPS dan Bappeda,” lanjut Sandhi.
Selisih jumlah data yang begitu banyak menjadi ladang tumbuhnya masalah yang lain lagi. Adanya penyalahan penggunaan SKTM adalah masalah yang seringkali timbul dari data orang miskin yang tidak valid tersebut.
Kasus percaloan juga masih menjamur di RSUD Kota Bekasi, pihak RSUD menghimbau agar warga dan LSM juga membantu RSUD untuk memberantas percaloan di ranah RSUD. RSUD dengan senang hati membuka jaringan dengan siapapun untuk memberantas calo-calo tersebut. Semua usaha bersama tersebut semata-mata dimaksudkan untuk kesejahteraan warga Kota Bekasi, khususnya warga miskin.(../Red-WKB)

Kamis, 19 Mei 2011

Rakyat Jakarta Tuntut Hapuskan Kontribusi Rumah Sakit

Jakarta, FaktaPos. - Masyarakat DKI Jakarta kembali menuntut agar pemerintah propinsi menghapus kontribusi pada pelayanan kesehatan masyarakat miskin tidak mampu di Jakarta, karena memberatkan kehidupan masyarakat dan bertentangan dengan Perda No. 4/2009 Pasal 34 menyatakan jaminan pelayanan kesehatan (JPK) bagi orang miskin sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi DKI Jakarta.
Hal ini disampaikan Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jakarta Selatan dalam unjuk rasa yang diikuti ratusan wara miskin dan tidak mampu Jakarta di kantor Walikota Jakarta Selatan, Kamis (05/05)

Persoalannya masih sering kejadian di rumah sakit petugas GAKIN tetap mengenakan pungutan kontribusi kepada pasien yang berverifikasi miskin, walaupun sudah memiliki kartu JPK Gakin. Ketika pasien menyatakan keberatan, petugas GAKIN tetap memaksakan bahkan kadang menyuruh pasien miskin mencari hutangan,kata Ketua DKR Jakarta Selatan, Asep Nurdin.

Selain itu DKR Jakarta Selatan juga menuntut agar di Jakarta Selatan segera didirikan RSUD, mengingat Jakarta Selatan satu-satunya Kotamadya di provinsi DKI yang tidak memiliki RSUD. Termasuk juga menuntut peningkatan pelayanan kesehatan di puskesmas-puskesmas di Jakarta Selatan, dimana di wilayah Jakarta Selatan banyak puskesmas yang pelayanannya masih buruk seperti jam kerja tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, pengurusan SKTM yang dipersulit, dan pasien dikenakan biaya untuk obat.

Walaupun di Jakarta Selatan sendiri tidak pernah mendapati masalah di RS Fatmawati, namun ketika pasien harus dirujuk keluar Jakarta Selatan barulah masalah tersebut banyak bermunculan,jelas koordinator Advokasi DKR Jakarta Selatan, Abdul Wadut.

Asep Nurdin juga mengatakan bahwa beberapa puskesmas saat ini juga sering menjual obat generik.

"Kami masih menyimpan bungkus obat generik yang diperjualbelikan oleh puskesmas dan itu akan menjadi bukti kami bahwa itu bukan obat permintaan pasien. Kami akan memantau semua puskesmas yang jam kerjanya tidak sesuai prosedur, menjual belikan obat generik, dan mempersulit pengurus SKTM,ujar dia.

Menjawab tuntutan tersebut, drg. Yudhita dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menegaskan bahwa masalah kontribusi bagi pasien miskin bisa saja dibebaskan asal datanya memang valid warga miskin.

Dalam hal pendataan warga miskin di DKI Jakarta, Drg. Yudhita dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengakui bahwa pendataan warga miskin di DKI Jakarta kurang tepat karena kenyataannya masih banyak orang miskin yang tidak terdata. Untuk itu pihaknya akan segera membentuk tim di 5 Sudinkes seluruh DKI.

Dalam kesempatan itu juga Ketua DKR Jabodetabek menegaskan bahwa, sebenarnya pendataan orang miskin sudah tidak dibutuhkan apabila negara memenuhi hak seluruh warga negaranya dengan membebaskan pembiayaan pelayanan kesehatan.

“Masalahnya justru sebaliknya, justru partai-partai politik, DPR, LSM dan serikat buruh yang menginginkan agar negara memungut iuran dari rakyatnya secara langsung ataupun potongan upah. Mereka tergabung dalam kelompok yang mendukung pelaksanaan UU SJSN dan mendesak pengesahan RUU BPJS, jelasnya

Jadi menurut dia, selama kesehatan masyarakat yang menjadi tanggung jawab negara diserahkan kedalam bisnis asuransi maka, persoalan kesehatan masyarakat tidak akan pernah tuntas. (evn/nov)

Tolak Pasien Gakin, Izin Rumah Sakit Dicabut

JAKARTA (Pos Kota) – Ancaman pencabutan izin akan dilayangkan pada rumah sakit yang nekad menolak  atau mempersulit proses pelayanan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu. Jamin kesehatan warga miskin, Pemprov DKI alokasikan anggaran Rp413 milyar.
Rekomendasi sanksi tersebut sesuai dengan Undang-Undang Tentang Rumah Sakit No.44 dan Peraturan Daerah (Perda) Tentang Sistem Kesehatan Daerah (Siskesda). Hal tersebut diungkapkan  Dien Emawati, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI, yang menyatakan bahwa hal tersebut dikeluarkan jika rumah sakit yang bersangkutan tidak menggubris surat teguran yang dilayangkan instansinya.
Selain itu ditambahkan Dien, Dinkes DKI juga telah menginformasikan bagi rumah sakit untuk memberikan toleransi bagi pasien saat dalam perawatan Unit Gawat Darurat (UGD) yakni selama 3×24 jam. Kebijakan ini berlakubagi 85 rumah sakit yang berada di Jakarta. Langkah ini dilakukan sebagai upaya memberi kesempatan pihak keluarga pasien tidak mampu untuk mengurus surat Jaminan Pelayanan Kesehatan bagi keluarga Miskin (JPK Gakin) ataupun Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
Sebagai koordinasi, diungkapkan Dien setiap bulan dirinya juga rutin melakukan pertemuan dengan 85 pimpinan rumah sakit tersebut. Salah satunya membahas kebijakan pelaksanaan JPK – Gakin dan SKTM. “Tidak ada alasan lagi rumah sakit menolak pasien gakin, karena mereka telah dibiayai pemerintah,” ujar Dien, Rabu (26/5)
Secara terpisah Yudita Endah, Kabid Perencanaan dan Anggaran Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI,dirinya tidak menampik jika terdapat banyak kasus tersebut terjadi di beberapa rumah sakit di Jakarta. Namun terdapat dua kemungkinan masalah ini terjadi,yang pertama rumah sakit tidak berani menanyakan pasien mendapat jaminan kesehatan dalam bentuk apa atau pasien yang tidak berani mengaku bahwa dirinya merupakan pasien dengan JPK Gakin.
Berbagai alasan mendasari hal ini diantaranya khawatir akan mendapat pelayanan yang tidak maksimal dari pihak rumah sakit.
Analisa ini dikatakan Yudita dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap beberapa kasus yang terjadi. Sehingga untuk mengatasinya, Yudita mengatakan pihaknya secara berjenjang telah melakukan sosialisasi terhadap seluruh rumah sakit. “Keterbukaan antara pasien dengan pihak rumah sakit sangatlah penting, sehingga tidak ada kesalahan komunikasi,” ujar Yudita, Rabu (26/5).  Namun Yudita, menilai masalah pasien gakin sepatutnya tidak terjadi seandainya adanya koordinasi rumah sakit dengan Dinkes DKI.
Lebih lanjut Yudita menyatakan dalam mengkalsifikasikan kelompok masyarakat Dinkes DKI sendiri telah melakukan pengukuran tingkat ekonomi masyarakat. Sehingga pemberian jaminan kesehatan oleh pemerintah daerah ini tepat sasaran. Diantaranya SKTM maupun JPK-Gakin diberikan pada warga yang memiliki pendapatan kurang dari Rp600 ribu setiap bulannya.
Kebijakan ini dilakukan lantaran tidak jarang warga yang mampu turut memanfaatkan SKTM untuk mendapata layanan kesehatan yang murah. “ Untuk lebih tepat sasaran jaminan kesehatan bagi warga ibukota akan masuk dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Daerah,” sambungnya.
Sementara itu untuk menjamin kesehatan warga tidak mampu di Jakarta, Pemprov DKI mengalokasikan anggaran sebesar Rp413 milyar dalam APBD 2010. Dana ratusan milyar rupiah ini disiapkan pada pagu anggaran JPK Gakin, SKTM dan penanggulangan korban bencana.(guruh) (Sumber: http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/05/26/tolak-pasien-gakin-izin-rumah-sakit-dicabut)

Lagi, layanan kesehatan warga miskin Jakarta dipersoalkan

Jakarta – Warga Jakarta kembali menuntut penghapusan ongkos layanan kesehatan bagi masyarakat miskin di Ibu Kota Jakarta. Pasalnya, hal itu membebani kehidupan masyarakat, bahkan bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) No 4/2009 Pasal 34 yang menyatakan jaminan pelayanan kesehatan (JPK) bagi masyarakat miskin sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta.

Hal ini disampaikan Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jakarta Selatan, dalam unjuk rasa yang diikuti ratusan warga miskin Jakarta, di Kantor Walikota Jakarta Selatan, Kamis (5/5).

“Persoalannya masih sering kejadian di rumah sakit, petugas Gakin tetap mengenakan pungutan kontribusi kepada pasien yang berverifikasi miskin, walaupun sudah memiliki kartu JPK Gakin. Ketika pasien menyatakan keberatan, petugas Gakin tetap memaksakan, bahkan menyuruh pasien miskin mencari hutangan,” kata Ketua DKR Jakarta Selatan, Asep Nurdin.

Selain itu DKR Jakarta Selatan juga menuntut agar di Jakarta Selatan segera didirikan RSUD, mengingat Jakarta Selatan satu-satunya kota madya di provinsi DKI yang belum memiliki RSUD. Termasuk juga menuntut peningkatan pelayanan kesehatan di puskesmas di Jakarta Selatan. Hal itu karena banyak puskesmas di wilayah tersebut yang pelayanannya masih buruk seperti jam kerja tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, pengurusan SKTM yang dipersulit, dan pasien dikenakan biaya untuk obat.

“Walaupun di Jakarta Selatan sendiri tidak pernah mendapati masalah di RS Fatmawati. Namun ketika pasien harus dirujuk keluar Jakarta Selatan barulah masalah tersebut bermunculan,” jelas Koordinator Advokasi DKR Jakarta Selatan, Abdul Wadut.

Asep Nurdin juga mengatakan bahwa beberapa puskesmas saat ini juga sering menjual obat generik.
"Kami masih menyimpan bungkus obat generik yang diperjualbelikan oleh puskesmas dan itu akan menjadi bukti kami bahwa itu bukan obat permintaan pasien. Kami akan memantau semua puskesmas yang jam kerjanya tidak sesuai prosedur, memperjualbelikan obat generik, dan mempersulit pengurusan SKTM,”ujar dia.

Menjawab tuntutan tersebut, drg. Yudhita dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menegaskan, masalah kontribusi atau biaya perobatan bagi pasien miskin bisa saja dibebaskan, asalkan datanya memang valid.

Dalam hal pendataan warga miskin di Jakarta, Yudhita  mengakui bahwa pendataan warga miskin di DKI Jakarta kurang tepat karena kenyataannya masih banyak orang miskin yang tidak terdata. Untuk itu, pihaknya akan segera membentuk tim di lima Sudinkes seluruh DKI.
(brn) (Sumber: http://www.primaironline.com/berita/sosial/175355-lagi-layanan-kesehatan-warga-miskin-jakarta-dipersoalkan#)

Dewan Kesehatan Rakyat Tuntut Pembebasan Biaya Pasien Miskin

TEMPO Interaktif, Jakarta -Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jakarta Barat unjuk rasa menuntut Pemerintah Jakarta Barat untuk mencabut kewajiban dan membebaskan biaya bagi pasien miskin yang menggunakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Menurut Ketua DKR Jakarta Barat, Lis Sugianto, selama ini masih banyak rumah sakit dan Puskesmas yang memungut biaya pasien miskin dan memegang SKTM.
Mereka juga mempersulit pasien miskin yang ingin mendapat SKTM. "Pemerintah harus menertibkan rumah sakit dan Puskesmas yang bandel itu," kata Lis dalam unjuk rasa di depan kantor Wali Kota Jakarta Barat hari ini.

Lis mengatakan, iuran kontribusi itu sebenarnya juga tidak tertera dalam Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah namun ada di dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis  program Keluarga Miskin (GAKIN). "Karena masih ada di petunjuk, besaran iuran itu ditetapkan sepihak oleh masing-masing petugas rumah sakit. Akibatnya, iuran itu jadi beban baru bagi masyarakat miskin."

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terdapat 33.588 keluarga miskin di Jakarta Barat. Angka itu masih di bawah Jakarta Utara sebanyak 50.291 rumah tangga, Jakarta Timur sebanyak 46.908 rumah tangga namun di atas Jakarta Pusat sebanyak 24.921 rumah tangga, Jakarta Selatan 9.608 rumah tangga dan Kepulaun Seribu dengan 573 rumah tangga.

Selain berorasi, pengunjuk rasa juga membawa spanduk bernada protes dan meneriakkan yel 'Rakyat Sehat Negara Kuat'.

ARIE FIRDAUS

(Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2011/05/11/brk,20110511-333783,id.html)

Minggu, 15 Mei 2011

JANGAN TARIK IURAN DARI RAKYAT ! STOP MEMOTONG UPAH BURUH, PNS DAN PRAJURIT ! BATALKAN UU NO 40/2004, TOLAK RUU BPJS !


 
Belum pernah ada undang-undang sebuas UU No 40/2004 Tentang SJSN, yang sangat terang-terangan memerintahkan pada seluruh rakyat Indonesia untuk membayar iuran pada negara. Sungguh gawat kalau ada elit Serikat Buruh, LSM, Partai Politik dan anggota-anggota DPR-nya yang masih terus mendesak terbitnya RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) seperti dalam aksi 1 Mei 2011 lalu. Mereka secara terang-terangan ingin memiskinkan rakyat dan menguntungkan bisnis asuransi yang akan dijalankan oleh BPJS.

Pada pasal 17 dari UU Nomor 40/2004 Tentang SJSN tersebut berbunyi :  ayat (1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu, ayat (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala. dan ayat (3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai degan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak
                                                      
Mengacu pada UUD’45 maka ketiga ayat di atas secara jujur harus diakui telah penyimpangan jauh dari perintah UUD’45 Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (3) yang isinya adalah : Ayat (1)Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dan Ayat (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan.

Lebih tinggi lagi adalah bertentangan tujuan pembentukan pemerintahan seperti yang tertulis dalam Mukadimmah UUD’45 alenia keempat yang berbunyi …..Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…..

Pada ayat (1) dari pasal 17 dari UU No 40/2004 Tentang SJSN ini memerintahkan semua pekerja untuk membayar iuran untuk yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Akibat dari pasal ini adalah apabila rakyat, khususnya pekerja jika tidak membayar iuran maka tidak akan mendapatkan Jaminan sosial.

Ayat (1) ini  secara terang-terangan adalah mekanisme bisnis asuransi yang menarik dana dari masyarakat untuk kepentingan bisnis. Iuran wajib selama ini sudah melekat puluhan tahun pada pekerja baik itu buruh, pegawai negeri sipil maupun prajurit militer dan petugas kepolisian. Iuran wajib dilakukan dengan pemotongan upah atau gaji buruh, PNS dan TNI/Polri oleh PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT TASPEN dan PT ASABRI untuk mendapatkan pelayanan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi hari tua,  asuransi pensiun dan asuransi kematian.

Bisnis asuransi diatas adalah murni bisnis jual-beli jasa asuransi. Kalau tidak membayar maka tidak akan mendapatkan jasa pelayanan asuransi. Selama upah buruh, PNS dan TNI/Polri telah dipotong setiap bulannya untuk bisnis perusahaan asuransi milik negara. Rupanya belum cukup sehingga harus ada ayat (1) pasal 17 tersebut yang memastikan pasal asuransi dalam UU SJSN itu. Padahal UUD’45 Pasal 28 H ayat (1) yang menegaskan pelayanan kesehatan adalah hak, bukan proses jual-beli. Dan ayat (2) bahwa setiap orang berhak atas Jaminan Sosial, yang sekali lagi bukan dengan membeli.

Rakyat dan Buruh mengingatkan bahwa tujuan pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, seperti yang terpatri dalam Mukadimmah UUD’45.

Artinya oleh Mukadimmah,-- Pemerintah dan Negara Indonesia ditugaskan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan Umum.



Kalau ayat (1) pasal 17 tetap dicantumkan maka untuk mendapatkan rakyat harus membayar hak perlindungan dalam bentuk “jaminan sosial”, yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab negara.

Pada ayat (2) dari pasal 17 dari UU No 40/2004 Tentang SJSN, memerintahkan setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.

Kita semua tahu bagaimana beratnya kehidupan ekonomi buruh, PNS dan prajurit TNI/Polri dalam sistim perburuhan dinegeri ini. Terutama sistim pengupahan yang jauh dari garis kesejahteraan yang wajar. Tugas Pemerintah dan Negara adalah memajukan kesejahteraan umum seperti yang dicantumkan oleh dalam Alenia keempat Mukadimah UUD’45 dan memastikan hak untuk hidup sejahtera lahir batin seperti yang dijamin dalam UUD’45 pasal 28 H ayat (1).

Pemberlakuan Ayat (2) di atas justru mensahkan beban ekonomi yang sangat berat bagi buruh, PNS dan TNI/Polri. Ayat ini justru memerintahkan dan mensahkan negara melakukan ekspolitasi buruh, PNS dan Prajurit yang akan dilakukan oleh pemerintah, manajemen perusahaan, maupun perorangan. Ekspolitasi yang dimaksud adalah dengan cara memotong iuran wajib dari upah atau gaji yang memang sudah rendah.

Menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana rakyat pekerja seperti buruh, PNS dan prajurit TNI/Polri dapat meningkatkan kesejahteraannya setelah upah atau gajinya dipotong. Pantaslah disimpulkan bahwa ayat (2) dari pasal 17 Pada UU No 40/2004 Tentang SJSN bertentangan dengan Tugas Pemerintah dan Negara adalah memajukan kesejahteraan umum seperti yang dicantumkan oleh dalam Alenia keempat Mukadimah UUD’45 dan memastikan hak untuk hidup sejahtera lahir batin seperti yang dijamin dalam UUD’45 pasal 28 H ayat (1).

Ayat (2) ini pun mengandung eksploitasi manusia atas manusia yang tidak ber perikemanusiaan dan perikeadilan seperti yang tercantum dalam alenia pertama dari Mukadimmah UUD’45, yang menjadi dasar utama dari kemerdekaan Indonesia.

Pada ayat (3) dari pasal 17 dari UU No 40/2004 Tentang SJSN disebutkan bahwa besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai degan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak. Ayat ini menunjukkan bahwa besaran potongan iuran pada gaji dan upah buruh, PNS, TNI/Polri akan mengikuti perkembangan waktu, sebgai turunan pelaksanaan yang mengatur ayat (1) dan (2). Hari ini, sesuai dengan data BPS Februari 2010,  Upah Minimum Regional (UMR) Rp 1. 068.399 sedangkan  Gaji dan Upah rata rata Rp 1.337.753. Bisa dibayangkan hidup buruh, PNS, TNI/Polri yang upah atau gajinya harus dipotong untuk iuran membeli  perlindungan yang berupa jaminan sosial yang dijual oleh negara.

Dari ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) Pasal 17 UU No 40/2004 tentang SJSN ini dapat dipastikan bahwa “Sistim Jaminan Sosial Nasional ” yang disediakan hanya berlaku bagi buruh, PNS dan TNI/Polri dan fakir miskin dan orang yang tidak mampu. Sedangkan untuk pekerja Informal, orang tua yang bukan pensiunan, bayi dan anak-anak tidak akan mendapatkan perlindungan negara berupa “Jaminan Sosial”. Padahal pengangguran, orang tua bukan pensiunan, bayi dan anak-anak merupakan kelompok rentan yang harus dilindungi oleh negara dari penyakit.

Menurut data BPS, Februari 2010, jumlah penganggur terbuka sebesar 8,59 juta yaitu (7,14%) dibanding jumlah angkatan kerja sebesar 115,99 juta orang. Sebesar 66, 94% atau 72,4 juta orang pekerja di Indonesia hanya bekerja di sektor informal. Sebagian besar pekerja informal adalah kaum tani yang tercatat sampai Agustus 2010 sebesar 41,49 juta orang. Jumlah orang tua diatas 60 tahun bukan pensiunan sebesar 16.174.000 (Bank Dunia, 2010). Jumlah balita hingga 2010 sebesar 21,57 juta orang (Bank Dunia, 2010) Jumlah usia sekolah 55,16% atau 129.74 juta (2009). 

Sehingga hanya 126,8 juta dari 234 juta penduduk Indonesia yang akan mendapatkan “jaminan sosial” terdiri dari 76,4 juta rakyat miskin dan tidak mampu dan 28 juta pekerja formal dan 2,4 juta pensiunan.
Untuk itu kami menuntut :

1. JANGAN TARIK IURAN SJSN DARI RAKYAT !
2. STOP MEMOTONG UPAH BURUH, PNS DAN PRAJURIT !
3. PEMERINTAH LAH YANG WAJIB MELAKSANAKAN SISTIM JAMINAN SOSIAL!
3. BATALKAN UU NO 40/2004, TOLAK RUU BPJS !

UU NO 40 TENTANG SJSN DAN RUU BPJS AKAN MEMISKINKAN RAKYAT !


Anggota DPR, elit Serikat Buruh, LSM, perusahaan asuransi dan kaum intelektual yang katanya selama ini memperjuangkan rakyat terus mendorong agar  UU NO 40 TENTANG SJSN (Sistim Jaminan Sosial Nasional) dan RUU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional). Mereka menutup mata dengan kemiskinan rakyat yang semakin meluas dan dalam dikota-kota, desa-desa, di Jawa maupun di luar Jawa. Inti dari kedua undang-undang yang mereka dorong ini adalah memerintahkan rakyat untuk membayar iruan asuransi dalam Sistim Jaminan Sosial Nasional.

Keberadaan Pasal 17 UU No. 40/2004 tentang SJSN sangatlah mengerikan, karena negara melepas kewajiban dan tanggungjawabnya kepada rakyat dengan menitipkan nasib rakyat pekerja kepada pihak ketiga. Pihak ketiga itu adalah kekuatan pasar.

“Pasar bukanlah sekedar tempat bertemunya permintaan dan penawaran, tetapi dalam era globalisasi ekonomi yang mengemban semangat kerakusan homo economicus dan predatorik ini, pasar adalah the global financial tycoons atau kaisar-kaisar finansial global yang sangat dominan memaksakan selera dan kehendaknya yang predatorik, yang pasti akan merongrong hak sosial rakyat itu,” demikian Prof. DR. Sri Edi Swasono, SE dalam sidang Judicial Review Pasal 17 dari UU SJSN 16 Maret 2011 lalu di Jakarta.

Prof. DR. Sri Edi Swasono, SE sebagai saksi ahli menjelaskan bahwa undang-undang SJSN telah menggeser kewajiban negara dalam tugasnya menghormati hak sosial rakyat kepada pihak ketiga dalam bentuk wajib membayar iuran yang besarnya ditentukan pula oleh pihak lain.

“Ini bukan undang-undang jaminan sosial. Di dalamnya diatur tentang sistem deviden atau sistem pembagian keuntungan saham a la bisnis, yang hakikatnya tak lain adalah bisnis asuransi. Jaminan Sosial telah direduksi maknanya menjadi murni bisnis asuransi. Hak Sosial Rakyat berubah menjadi komoditi dagang, dan ini merupakan gerakan ideologis neoliberalisme yang bertentangan dengan UUD 1945,” demikian Prof. DR. Sri Edi Swasono.

Mengeksploitasi Rakyat
Mantan Menteri Kesehatan DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp. JP(K), menegaskan bahwa UU SJSN yang diuji materi oleh Koalisi Jaminan Sosial Pro-Rakyat (KJSPR) hanya mengeksploitasi rakyat untuk keuntungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

"Hal ini tidak adil. Pemerintah memberikan peraturan untuk mengeksploitasi rakyatnya demi keuntungan pengelola asuransi yang notabene milik pemerintah," tegas anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini.

Sebelumnya, sebagai saksi ahli  dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, mantan Menkes ini menegaskan bahwa, asuransi sosial dengan bisnis asuransi umum hampir tidak ada bedanya. Dalam asuransi umum setiap orang memiliki hak untuk memilih secara sukarela tanpa paksaan sedangkan sesuai ketentuan Pasal 17 undang-undang ini, pekerja dipaksa menjadi peserta asuransi.

“Jaminan sosial, sesuai UUD 45 adalah kewajiban pemerintah dan merupakan hak rakyat. Sedang asuransi sosial,  rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Pekerja Informal, orang tua yang bukan pensiunan, bayi dan anak-anak yang tidak termasuk fakir miskin tetapi tidak mampu membayar, dalam undang-undang ini tidak akan mendapatkan perlindungan negara,” tegasnya.


Mereduksi Konstitusi
Ahli Tata Negara DR. Margarito Kamis, SH, M.Hum dalam sidang di Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa norma peserta  pada ayat (1) pasal 17 dalam undang-undang ini mereduksi hakikat terminologi warga negara sebagai satu terminologi konstitusional yang digunakan dalam serangkaian pasal UUD 1945.

“Ini mereduksi hakikat konstitusional dari terminologi warga negara sebagai satu terminologi hukum berubah menjadi terminologi sosiologis berkualitas numerik.  Bahkan norma ini juga mengubah hakikat negara, sebagai organisasi kekuasaan yang diperuntukkan tidak untuk satu golongan, menjadi satu badan hukum komersial, dan diperuntukan untuk satu golongan saja, yaitu golongan pekerja,” demikian tegasnya sebagai saksi ahli. 

Negara Pemeras
Dalam sidang yang sama ekonom UGM, Poppy Ismalina, SE, Ph.D memaparkan bahwa pada Januari 2010, upah nominal harian buruh tani adalah Rp 37.637 per hari,  upah nominal harian buruh bangunan (mandor) Rp 56.998 per hari, upah nominal harian buruh industri Rp 44.500 per hari. Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia, 2008, yang dikeluarkan oleh BPS, daya beli masyarakat Indonesia rata-rata Rp 628.3 ribu pada tahun 2008 dan pada tahun 1996 sebesar Rp 587.4 ribu. Dalam sebelas tahun hanya meningkat sebesar Rp 40.9 ribu.

“Negara belum pernah memberikan jaminan sosial apapun pada rakyatnya yang berdaya beli rendah, kecuali Jamkesmas. Pemberlakuan UU SJSN khususnya pasal 17 justru negara melakukan pemerasan pada rakyatnya,” demikian ujarnya. 

Padalah menurutnya berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia, 2008, BPS, Daya beli (kemampuan beli) masyarakat Indonesia rata-rata Rp 628.3 ribu pada tahun 2008, pada tahun 1996 sebesar Rp 587.4 ribu. Dalam sebelas tahun hanya meningkat sebesar Rp 40.9 ribu.  Data daya beli diperoleh dari pengeluaran per kapita atas 27 komoditas seperti, beras, daging sapi, ayam, telur, susu, bayam, jeruk, kopi, gula, mie instan, rokok, listrik, air minum, bensin, minyak tanah dan perumahan.

Secara matematis sederhana menurutnya, apabila Rp 40.9 ribu tersebut dibagi rata untuk pembelian 27 komoditas kebutuhan pokok yang dijadikan hitungan dalam daya beli perkapita tersebut di atas, maka sepanjang 12 tahun ini, masyarakat Indonesia rata-rata umumnya hanya dapat menaikkan daya belinya kurang dari Rp 2.000 untuk pembelian masing-masing kebutuhan pokok dari total 27 macam kebutuhan pokok. Padahal harga beras per kg saja naik sebesar Rp 6.200 dari tahun 1996 sebesar Rp 880 per kg dan seperti tersebut di atas pada akhir tahun 2010, sebesar Rp 7.080 per kg.

Hari ini menurutnya tingkat pengangguran mencapai 30 juta penduduk yang adalah total pengangguran penuh; sementara masih ada lebih dari majoritas usia produktif yang dapat diklasifikasikan sebagai semi pengangguran – bekerja tidak sesuai dengan kompetensi dan tingkat pendidikannya.

Berikut bunyi Pasal 17 yang dimohonkan uji materinya karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945:
(1)   Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
(2)   Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
(3)   Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.



Untuk itu kami menuntut :

1. JANGAN TARIK IURAN SJSN DARI RAKYAT !
2. STOP MEMOTONG UPAH BURUH, PNS DAN PRAJURIT !
3. PEMERINTAH LAH YANG WAJIB MELAKSANAKAN SISTIM JAMINAN SOSIAL!
3. BATALKAN UU NO 40/2004, TOLAK RUU BPJS !

RAKYAT MENOLAK KEBOHONGAN DALAM UU NO 40/2004 TENTANG SJSN DAN RUU BPJS

RAKYAT MENOLAK KEBOHONGAN
DALAM UU NO 40/2004 TENTANG SJSN DAN RUU BPJS

Para pendukung UU Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan RUU Badan penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mengira bahwa rakyat bisa dibohongi dan bodohi. Mereka menipu dengan mengatakan bahwa Jaminan Sosial adalah sama dengan Asuransi Sosial. Mulut manis menjanjikan bahwaDalam Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1, ayat (3) dalam Undang-undang ini, ditegaskan bahwa Sistim Jaminan Sosial Nasional ini ditetapkan dijalankan dengan mekanisme Asuransi Sosial, yaitu suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran.

Pernyataan di atas bertentangan dengan dasar Pertimbangan UU No 40/2004, SJSN yang disebutkan memberikan jaminan sosial pada seluruh rakyat Indonesia seperti yang tercantum pada ayat (a) bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya. Ayat (b) bahwa untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh, negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia;

Jaminan sosial ini juga dicantumkan dalam Bab III Tentang Asas, Tujuan dan Penyelenggaraan, Pasal 2 yang berbunyi Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Asuransi Sosial adalah Bisnis Asuransi
Hingga saat ini, banyak ahli yang membedakan antara bisnis asuransi dengan asuransi sosial. Penambahan kata ‘sosial’ dibelakang  kata asuransi itu mencoba mengelabui, setidaknya menutupi bisnis asuransi. Sehingga sebetulnya sama saja antara asuransi bisnis dengan asuransi sosial. Para ahli telah terlibat menggunakan ilmu pengetahuannya untuk membohongi publik.

Memang terlihat perbedaan bisnis asuransi dengan asuransi sosial seperti yang disebut dalam Undang-undang ini pada persoalan persoalan keterlibatan negara. Bisnis asuransi murni sesungguhnya ranah privat jual beli jasa asuransi. Konsumen secara sukarela membeli produk asuransi tanpa paksaan. Namun dengan adanya UU No 40/2004 SJSN ini maka bisnis asuransi yang sektor privat dan sukarela menjadi kewajiban yang dipaksakan harus dipenuhi oleh masyarakat. Negara dan pemerintah telah memaksa dan mensahkan bisnis asuransi memetik keuntungan dari masyarakat.

Asuransi apa sajakah yang dijalankan oleh Sistim Jaminan Sosial Nasional ini ? Undang-undang ini menjawab bahwa mekanisme asuransi sosial ini dijalankan pada Jaminan Kesehatan dalam pasal 19, Jaminan kecelakaan kerja dalam pasal 29, Jaminan Hari Tua dalam pasal 35, Jaminan Pensiun dalam pasal 39 dan Jaminan Kematian dalam pasal 43

Siapa saja yang menjadi sasaran pasar asuransi dari Undang-undang ini? Jelas yang menjadi sasaran dari bisnis asuransi dalam undang-undang ini adalah dana langsung dari masyarakat berupa potongan upah dan gaji buruh, PNS dan TNI/Polri, seperti yang dicantumkan dalam pasal 1 ayat (10). Sasaran yang kedua adalah dana yang berasal dari APBN yang katanya untuk membiayai fakir miskin dan orang tidak mampu, seperti yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (4).  Sehingga ada kurang lebih 126, 8 juta rakyat Indonesia yang akan menjadi sasaran asuransi yang menopang Sistim Jaminan Sosial Nasional yang dijalankan.

Siapakah yang menjalankan Sistim Jaminan Sosial Nasional ini? Hingga saat ini masih belum jelas siapa yang akan menjalankan BPJS, apakah menjadi tunggal setelah peleburan BUMN-BUMN asuransi seperti yang diinginkan DPR ataukah, sendiri-sendiri seperti yang diinginkan para BUMN. Yang pasti nantinya iuran yang ditarik dari peserta, pemberi kerja dan atau APBN pemerintah seperti yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (10), dikumpulkan dan dikelola BPJS.

Untuk apakah dana tersebut? Undang undang ini menyebutkan bahwa  selain membayar asuransi peserta, dana juga dipakai untuk pembiayaan operasional, seperti yang dicantumkan oleh  Pasal 1 ayat (7). Lebih jauh lagi pengelolaan dana yang didapat dari bisnis asuransi diatas menurut undang-undang ini, dapat diinvestasikan sesuai dengan kebijakan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), seperti yang dicantum dalam pasal 7, ayat (3)b.

Namun dengan adanya UU No 40/2004 Tentang SJSN ini maka Jamkesmas dan JPK-GAKIN akan dijalankan selayaknya bisnis asuransi. Konsekwensinya adalah tidak semua usia akan ditanggung oleh sistim ini. Tidak semua penyakit akan ditanggung oleh sistim ini. Tidak semua tindakan medis, tidak semua obat dan alat kesehatan dan tidak semua konsultasi akan ditanggung oleh sistim ini. Tidak semua rumah sakit ditanggung oleh sistim ini.

Dengan adanya UU No 40/2004 Tentang SJSN ini maka Jamkesmas kembali akan dikelola oleh pihak ketiga, walaupun dikatakan BPJS dikatakan sebagai lembaga pemerintah namun dijalankan dalam sistim bisnis asuransi. Artinya akan ada alokasi uang negara yang akan ditempatkan dalam BPJS yaitu alokasi anggaran dari APBN untuk fakir miskin dan orang tidak mampu.

Dividen dan Saham
Jelas ini akan membuka peluang bagi BPJS untuk menggunakan dana sosial bukan untuk kepentingan masyarakat. Seperti yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (7) bahwa dana tersebut bisa dipakai untuk operasional. Dalam pasal 7, ayat (3)b juga ditegaskan bahwa dana tersebut dapat diinvestasikan.

Dalam penjelasan diakhir undang-undang ini secara terang-terangan dijelaskan bahwa Prinsip dana amanat adalah dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Nasional dalam Undang-Undang ini adalah hasil berupa dividen dari pemegang saham

Belum lagi co-sharing yang dibenarkan dalam UU ini. Sehingga walaupun buruh, PNS dan TNI/Polri sudah dipotong gajinya dan semua orang miskin dan tidak mampu akan dibayar oleh negara, namun dalam prakteknya, UU No 40/2004 Tentang SJSN, tetap mensahkan penarikan biaya kesehatan seperti yang tercantum dalam Pasal 22, Ayat (2) yang menegaskan soal iur biaya (co-sharing).

Rakyat dan kaum buruh, PNS dan prajurit sudah kapok dengan bisnis asuransi yang selama ini dipraktekkan oleh berbagai BUMN Asuransi. Tapi UU No 40 Tahun 2004 ini masih saja menjanjikan dalam BAB III Pasal 4, bahwa  Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip : a. kegotong-royongan; b. nirlaba; c. keterbukaan; d. kehati-hatian; e. akuntabilitas; f. portabilitas;g. kepesertaan bersifat wajib; h. amanat , dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

Janji dan kebohongan di atas sebaliknya akan membebani rakyat. Bohong gotong royongan karena rakyat yang harus menggotong penderitaan karena semakin miskin akibat harus bayar iuran sementara elit politisi dan bisnis asuransi dan elit serikat buruh meruguk keuntungan karena bisa duduk di BPJS. Bohong Nirlaba karena jelas-jelas  Undang-undang ini mengijinkan untuk investasi dan bagi-bagi deviden antara di dalam BPJS. Bohong Keterbukaan karena secara terang-terangan akan dipakai untuk investasi dan bagi keuntungan. Bohong Kehati-hatian karena secara terang-terangan dana masyarakat akan dipakai bancaan korupsi bahkan secara bergiliran digunakan kampanye partai-partai untuk berkuasa. Bohong Akuntabilitas karena tidak pernah ada audit yang independen pada praktek bisnis asuransi oleh berbagai BUMN Asuransi. Surah ratusan triliun rupiah uang buruh, PNS dan Prajurit raib tidak ada yang bertanggung jawab. Bohong untuk kepentingan peserta karena peserta tetap harus bayar co-sharing peratawatan kesehatan. Yang pasti dana Rp 2000 Triliun akan dipakai untuk investasi dibidang lain

Jadi dengan undang-undang ini telah terjadi kemunduran dalam pelaksanaan tugas negara seperti yang ditegaskan oleh konstitusi yaitu dari perlindungan dalam bentuk jaminan kesehatan bagi rakyat menjadi bisnis asusansi jaminan sosial. Yang tadinya negara dan pemerintah telah menjalankan kewajibannya memenuhi hak rakyat untuk memenuhi jaminan 76,4 juta rakyat, maka dengan UU ini,--- negara dan pemerintah kembali menarik kewajibannya dan melepaskannya dalam bisnis asuransi jaminan sosial.


Untuk itu kami menuntut :

1. JANGAN TARIK IURAN SJSN DARI RAKYAT !
2. STOP MEMOTONG UPAH BURUH, PNS DAN PRAJURIT !
3. PEMERINTAH LAH YANG WAJIB MELAKSANAKAN SISTIM JAMINAN SOSIAL!
3. BATALKAN UU NO 40/2004, TOLAK RUU BPJS !

RUU BPJS, Rame-rame Menjarah Hak Rakyat

RUU BPJS hanyalah alat bagi penguasa untuk mengelola hasil jarahan dari rakyat. Pembahasan Undang-Undang (UU) Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) sebagai tindak lanjut UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melahirkan pro dan kontra.
Pemerintah dan DPR memiliki tiga perbedaan konsep. Perbedaan konsep itu antara lain sifat BPJS, serta status badan hukum dan pembentukannya. Perbedaan tentang sifat terkait apakah BPJS tunggal atau majemuk. Status badan hukum terkait BUMN atau non-BUMN. Adapun pembentukan terkait dengan penetapan atau pengaturan.
Namun, gesekan tajam mengenai pembahasan RUU itu juga terjadi masyarakat. Sejumlah serikat buruh menginginkan supaya RUU itu segera disahkan, sedangkan buruh informal dan rakyat miskin tidak menginginkan pengesahan RUU itu.
Penolakan terkait erat dengan salah satu pasal dalam UU SJSN. Pasal 17 UU itu  memerintahkan penarikan iuran kepada peserta sistem jaminan. Ayat (1) UU itu menyebut setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
Selanjutnya, Ayat (2) menyebut setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala. Pasal tersebut saat ini tengah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
UU SJSN ini ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada masa akhir jabatannya 19 Oktober 2004. UU ini belum jalan karena RUU BPJS  belum disetujui oleh pemerintah saat ini. Namun yang mengherankan, semua fraksi di Komisi IX DPR, serikat-serikat buruh, dan LSM-LSM yang selama ini sesumbar membela rakyat dan nasib buruh terus mendorong pengesahan RUU BPJS. UU ini padahal mengesahkan penghisapan terhadap kaum buruh, PNS, dan Prajurit TNI/Polri. Mereka saat ini sebenarnya hidup pas-pasan.
“Dengan lahirnya UU ini, lima jaminan kesehatan, kecelakaan, hari tua, pensiun, dan kematian akan ditanggung negara, dengan cara diambil dari upah pekerja dan potongan upah buruh,” kata anggota Komisi IX dari Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka.
Keinginan itu didukung intelektual Universitas Indonesia (UI) Hasbulah Thabrani, Faisal Basri, dan Bambang Sulastomo.
Di luar intelektual, keinginan itu didukung sejumlah pihak yang tergabung di Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) dan Marius Widjajarta dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan (YPKK). Pada peringatan Hari Buruh Sedunia 1 Mei lalu, puluhan ribu buruh dikerahkan mendukung UU SJSN dan mendesak pengesahan RUU BPJS.

Eksploitasi
Menanggapi hal itu,  Ekonom dari UI Sri Edi Swasono mengatakan, Pasal 17 UU SJSN sangat mengerikan. Negara melepas kewajiban dan tanggung jawabnya kepada rakyat dengan menitipkan nasib rakyat pekerja kepada pihak ketiga. Padahal, pihak ketiga adalah kekuatan pasar.
UU SJSN juga telah menggeser kewajiban negara dalam tugasnya menghormati hak sosial rakyat kepada pihak ketiga dalam bentuk wajib membayar iuran yang besarnya ditentukan pihak lain. “Jaminan Sosial telah direduksi maknanya menjadi murni bisnis asuransi. Hak Sosial Rakyat berubah menjadi komoditas dagang, dan ini merupakan gerakan ideologis neoliberalisme yang bertentangan dengan UUD 1945,” paparnya.
Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan, Pasal 17 mengeksploitasi rakyat untuk keuntungan BPJS. Pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk mengeksploitasi rakyatnya demi keuntungan pengelola asuransi, meskipun milik pemerintah, sangat tidak adil bagi rakyat.
“Jaminan sosial sesuai UUD 45 adalah kewajiban pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedang asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Pekerja informal, orang tua yang bukan pensiunan, bayi dan anak-anak yang tidak termasuk fakir miskin tetapi tidak mampu membayar, dalam UU ini tidak akan mendapatkan perlindungan negara,” paparnya.
Argumen itu diperkuat dari sisi ketatanegaraan oleh ahli tata negara Margarito Kamis. Ia mengatakan, aturan tersebut telah mereduksi hakikat warga negara hanya menjadi sesuatu yang bersifat numerik. Bahkan norma ini juga mengubah hakikat negara sebagai organisasi kekuasaan yang diperuntukkan tidak untuk satu golongan, menjadi satu badan hukum komersial yang diperuntukkan satu golongan, yaitu pekerja.
Menurut Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Poppy Ismalina, aturan tersebut sulit diterapkan. Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia 2008, yang dikeluarkan BPS, daya beli masyarakat Indonesia rata-rata Rp 628.300 pada 2008 dan pada 1996 sebesar Rp 587.400. Dalam 11 tahun hanya meningkat sebesar Rp 40.900.
“Negara belum pernah memberikan jaminan sosial apa pun pada rakyatnya kecuali yang berdaya beli rendah, kecuali Jamkesmas. Pemberlakuan UU SJSN khususnya Pasal 17 justru negara melakukan pemerasan pada rakyatnya,” ujarnya. Bahasa yang sederhana diungkapkan Rahman, seorang tukang ojek di Jakarta Barat. ”Ini namanya menjarah. Hak yang seharusnya saya dapat kok malah disuruh beli,” katanya.
“Jaminan Sosial telah direduksi maknanya menjadi murni bisnis asuransi. Hak Sosial Rakyat berubah menjadi komoditas dagang, dan ini merupakan gerakan ideologis neoliberalisme yang bertentangan dengan UUD 1945.” (Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/ruu-bpjs-rame-rame-menjarah-hak-rakyat/)