Jakarta - Majelis hakim konstitusi menggelar kembali sidang pengujian Undang-undang (PUU) Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan mendengarkan keterangan saksi dari pemohon yang mengaku keberatan bila harus membayar premi (iuran) asuransi.
"Harapan saya negara bisa menanggung itu, karena dengan hasil yang didapat hanya cukup untuk makan sehari-hari saja itu pun masih susah," kata Rosidah, yang hanya mengantungkan hidupnya dari pensiunan almarhum suaminya sebagai anggota Angkatan Darat, saat memberikan keterangan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (18/5).
Untuk memenuhi kebutuhannya dan empat orang anaknya, Rosidah tidak dapat mengandalkan uang pensiunan yang dia terima setiap bulannya karena uang pensiunan yang diterima tidak utuh. Padahal, tidak semua anggota keluargan Rosidah ditanggung oleh ASKES
"Pensiunan yang saya terima sebesar Rp1.4 juta tetapi itu belum masuk pada potongan sana-sini yang salah satunya potongan tehadap asuransi (ASKES). Sehingga saya hanya menerima kurang lebih 30 ribu rupiah," papar dia.
Kuasa Hukum Pemohon Hermawanto menyatakan bahwa kesaksian yang diberikan oleh pemohon membuktikan bahwa banyak rakyat yang sebenarnya untuk sehari-hari saja sulit bahkan tidak bisa menabung untuk hari tua.
Bila negara, lanjut dia, membiarkan rakyat membayar premi SJSN artinya negara tidak melakukan apa-apa untuk menjamin kesehatan bangsa. "Jangankan untuk hari tua, untuk hari ini saja mereka masih susah, dan itu telah melanggar UUD 45," tandas Hermawanto.
Pada sidang sebelumnya, pemohon menganggap Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN seharusnya merupakan sarana negara menjalankan kewajiban untuk memenuhi hak asasi setiap warga negaranya, bukan menjadi alat negara menegasikan kewajibannya terhadap warga negara. Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya yang dijamin UUD´45 terlanggar akibat berlakunya Pasal 17 UU Sistem Jamsosnas.(Sumber: http://www.primaironline.com/berita/sosial/197185-saksi-kami-tak-mampu-bayar-iuran-sjsn)
DKR JAKARTA PUSAT
RAKYAT SEHAT NEGARA KUAT, HAPUSKAN KONTRIBUSI UNTUK PASIEN MISKIN, CABUT UU SJSN DAN RUU BPJS
RAKYAT SEHAT NEGARA KUAT
Kamis, 26 Mei 2011
Jumat, 20 Mei 2011
Pemerintah Kota Bekasi akhirnya memberikan dukungan penolakan terhadap RUU BPJS
Bekasi-WKBPemerintah Kota Bekasi akhirnya memberikan dukungan penolakan terhadap RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). RUU BPJS dianggap merupakan pembodohan terhadap rakyat, karena rakyat akan dibebankan biaya asuransi untuk mendapatkan surat keterangan tidak mampu (SKTM).
Dalam RUU tersebut disebutkan bahwa 'jaminan sosial' adalah sama dengan 'asuransi sosial'. Asuransi sosial sendiri merupakan mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran. Artinya, rakyat dipaksa membayar asuransi yang seharusnya sudah dijamin oleh pemerintah.
Adanya rencana kebijakan yang tidak pro-rakyat ini, anggota Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) mengadakan unjuk rasa menentang rencana kebijakan 'asuransi sosial' tersebut. Humas DKR, Fariq Libarani Sandhi mengungkapkan, DKR menentang dengan akan diadakannya perjanjian atau Memorandum Of Understanding (MOU) dengan PT. ASKES.
Dalam audiensi bersama dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Wakil Direktur Utama RSUD Kota Bekasi, serta Kepala Bagian Hukum Pemkot Bekasi, akhirnya dicapai kesepakatan bahwa pemerintah Kota Bekasi tidak akan menyetujui adanya RUU BPJS tentang ‘asuransi sosial’ tersebut. Pemerintah Kota Bekasi berjanji, jaminan kesehatan untuk rakyat miskin tetap akan menjadi tanggung jawab permerintah kota.
“Selain penolakan terhadap ‘asuransi sosial, kami juga meminta agar RSUD Kota Bekasi juga memberikan pelayanan maksimal terutama untuk rakyat miskin” terang Sandhi, Kamis (19/5). Seperti contoh kejadian pada hari Rabu (18/5) di RSUD Kota dimana anggota keluarga tidak bisa mengambil jenazah keluarganya dikarenakan harus membayar biaya perawatan sebesar sembilan juta rupiah, padahal keluarga yang berasal dari kecamatan Rawalumbu tersebut merupakan keluarga kurang mampu. “Kami menilai RSUD bertindak lamban dalam penanganan kasus pasien miskin,” ujarnya.
Pendataan warga miskin di Kota Bekasi juga masih mengalami kesimpangsiuran data. “Terdapat selisih data warga miskin sebanyak 25 ribu jiwa antara data dari BPS dan Bappeda,” lanjut Sandhi.
Selisih jumlah data yang begitu banyak menjadi ladang tumbuhnya masalah yang lain lagi. Adanya penyalahan penggunaan SKTM adalah masalah yang seringkali timbul dari data orang miskin yang tidak valid tersebut.
Kasus percaloan juga masih menjamur di RSUD Kota Bekasi, pihak RSUD menghimbau agar warga dan LSM juga membantu RSUD untuk memberantas percaloan di ranah RSUD. RSUD dengan senang hati membuka jaringan dengan siapapun untuk memberantas calo-calo tersebut. Semua usaha bersama tersebut semata-mata dimaksudkan untuk kesejahteraan warga Kota Bekasi, khususnya warga miskin.(../Red-WKB)
Dalam RUU tersebut disebutkan bahwa 'jaminan sosial' adalah sama dengan 'asuransi sosial'. Asuransi sosial sendiri merupakan mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran. Artinya, rakyat dipaksa membayar asuransi yang seharusnya sudah dijamin oleh pemerintah.
Adanya rencana kebijakan yang tidak pro-rakyat ini, anggota Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) mengadakan unjuk rasa menentang rencana kebijakan 'asuransi sosial' tersebut. Humas DKR, Fariq Libarani Sandhi mengungkapkan, DKR menentang dengan akan diadakannya perjanjian atau Memorandum Of Understanding (MOU) dengan PT. ASKES.
Dalam audiensi bersama dengan Kepala Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Wakil Direktur Utama RSUD Kota Bekasi, serta Kepala Bagian Hukum Pemkot Bekasi, akhirnya dicapai kesepakatan bahwa pemerintah Kota Bekasi tidak akan menyetujui adanya RUU BPJS tentang ‘asuransi sosial’ tersebut. Pemerintah Kota Bekasi berjanji, jaminan kesehatan untuk rakyat miskin tetap akan menjadi tanggung jawab permerintah kota.
“Selain penolakan terhadap ‘asuransi sosial, kami juga meminta agar RSUD Kota Bekasi juga memberikan pelayanan maksimal terutama untuk rakyat miskin” terang Sandhi, Kamis (19/5). Seperti contoh kejadian pada hari Rabu (18/5) di RSUD Kota dimana anggota keluarga tidak bisa mengambil jenazah keluarganya dikarenakan harus membayar biaya perawatan sebesar sembilan juta rupiah, padahal keluarga yang berasal dari kecamatan Rawalumbu tersebut merupakan keluarga kurang mampu. “Kami menilai RSUD bertindak lamban dalam penanganan kasus pasien miskin,” ujarnya.
Pendataan warga miskin di Kota Bekasi juga masih mengalami kesimpangsiuran data. “Terdapat selisih data warga miskin sebanyak 25 ribu jiwa antara data dari BPS dan Bappeda,” lanjut Sandhi.
Selisih jumlah data yang begitu banyak menjadi ladang tumbuhnya masalah yang lain lagi. Adanya penyalahan penggunaan SKTM adalah masalah yang seringkali timbul dari data orang miskin yang tidak valid tersebut.
Kasus percaloan juga masih menjamur di RSUD Kota Bekasi, pihak RSUD menghimbau agar warga dan LSM juga membantu RSUD untuk memberantas percaloan di ranah RSUD. RSUD dengan senang hati membuka jaringan dengan siapapun untuk memberantas calo-calo tersebut. Semua usaha bersama tersebut semata-mata dimaksudkan untuk kesejahteraan warga Kota Bekasi, khususnya warga miskin.(../Red-WKB)
Kamis, 19 Mei 2011
Rakyat Jakarta Tuntut Hapuskan Kontribusi Rumah Sakit
Jakarta, FaktaPos. - Masyarakat DKI Jakarta kembali menuntut agar pemerintah propinsi menghapus kontribusi pada pelayanan kesehatan masyarakat miskin tidak mampu di Jakarta, karena memberatkan kehidupan masyarakat dan bertentangan dengan Perda No. 4/2009 Pasal 34 menyatakan jaminan pelayanan kesehatan (JPK) bagi orang miskin sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi DKI Jakarta.
Hal ini disampaikan Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jakarta Selatan dalam unjuk rasa yang diikuti ratusan wara miskin dan tidak mampu Jakarta di kantor Walikota Jakarta Selatan, Kamis (05/05)
Persoalannya masih sering kejadian di rumah sakit petugas GAKIN tetap mengenakan pungutan kontribusi kepada pasien yang berverifikasi miskin, walaupun sudah memiliki kartu JPK Gakin. Ketika pasien menyatakan keberatan, petugas GAKIN tetap memaksakan bahkan kadang menyuruh pasien miskin mencari hutangan,kata Ketua DKR Jakarta Selatan, Asep Nurdin.
Selain itu DKR Jakarta Selatan juga menuntut agar di Jakarta Selatan segera didirikan RSUD, mengingat Jakarta Selatan satu-satunya Kotamadya di provinsi DKI yang tidak memiliki RSUD. Termasuk juga menuntut peningkatan pelayanan kesehatan di puskesmas-puskesmas di Jakarta Selatan, dimana di wilayah Jakarta Selatan banyak puskesmas yang pelayanannya masih buruk seperti jam kerja tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, pengurusan SKTM yang dipersulit, dan pasien dikenakan biaya untuk obat.
Walaupun di Jakarta Selatan sendiri tidak pernah mendapati masalah di RS Fatmawati, namun ketika pasien harus dirujuk keluar Jakarta Selatan barulah masalah tersebut banyak bermunculan,jelas koordinator Advokasi DKR Jakarta Selatan, Abdul Wadut.
Asep Nurdin juga mengatakan bahwa beberapa puskesmas saat ini juga sering menjual obat generik.
"Kami masih menyimpan bungkus obat generik yang diperjualbelikan oleh puskesmas dan itu akan menjadi bukti kami bahwa itu bukan obat permintaan pasien. Kami akan memantau semua puskesmas yang jam kerjanya tidak sesuai prosedur, menjual belikan obat generik, dan mempersulit pengurus SKTM,ujar dia.
Menjawab tuntutan tersebut, drg. Yudhita dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menegaskan bahwa masalah kontribusi bagi pasien miskin bisa saja dibebaskan asal datanya memang valid warga miskin.
Dalam hal pendataan warga miskin di DKI Jakarta, Drg. Yudhita dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengakui bahwa pendataan warga miskin di DKI Jakarta kurang tepat karena kenyataannya masih banyak orang miskin yang tidak terdata. Untuk itu pihaknya akan segera membentuk tim di 5 Sudinkes seluruh DKI.
Dalam kesempatan itu juga Ketua DKR Jabodetabek menegaskan bahwa, sebenarnya pendataan orang miskin sudah tidak dibutuhkan apabila negara memenuhi hak seluruh warga negaranya dengan membebaskan pembiayaan pelayanan kesehatan.
“Masalahnya justru sebaliknya, justru partai-partai politik, DPR, LSM dan serikat buruh yang menginginkan agar negara memungut iuran dari rakyatnya secara langsung ataupun potongan upah. Mereka tergabung dalam kelompok yang mendukung pelaksanaan UU SJSN dan mendesak pengesahan RUU BPJS, jelasnya
Jadi menurut dia, selama kesehatan masyarakat yang menjadi tanggung jawab negara diserahkan kedalam bisnis asuransi maka, persoalan kesehatan masyarakat tidak akan pernah tuntas. (evn/nov)
Hal ini disampaikan Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jakarta Selatan dalam unjuk rasa yang diikuti ratusan wara miskin dan tidak mampu Jakarta di kantor Walikota Jakarta Selatan, Kamis (05/05)
Persoalannya masih sering kejadian di rumah sakit petugas GAKIN tetap mengenakan pungutan kontribusi kepada pasien yang berverifikasi miskin, walaupun sudah memiliki kartu JPK Gakin. Ketika pasien menyatakan keberatan, petugas GAKIN tetap memaksakan bahkan kadang menyuruh pasien miskin mencari hutangan,kata Ketua DKR Jakarta Selatan, Asep Nurdin.
Selain itu DKR Jakarta Selatan juga menuntut agar di Jakarta Selatan segera didirikan RSUD, mengingat Jakarta Selatan satu-satunya Kotamadya di provinsi DKI yang tidak memiliki RSUD. Termasuk juga menuntut peningkatan pelayanan kesehatan di puskesmas-puskesmas di Jakarta Selatan, dimana di wilayah Jakarta Selatan banyak puskesmas yang pelayanannya masih buruk seperti jam kerja tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, pengurusan SKTM yang dipersulit, dan pasien dikenakan biaya untuk obat.
Walaupun di Jakarta Selatan sendiri tidak pernah mendapati masalah di RS Fatmawati, namun ketika pasien harus dirujuk keluar Jakarta Selatan barulah masalah tersebut banyak bermunculan,jelas koordinator Advokasi DKR Jakarta Selatan, Abdul Wadut.
Asep Nurdin juga mengatakan bahwa beberapa puskesmas saat ini juga sering menjual obat generik.
"Kami masih menyimpan bungkus obat generik yang diperjualbelikan oleh puskesmas dan itu akan menjadi bukti kami bahwa itu bukan obat permintaan pasien. Kami akan memantau semua puskesmas yang jam kerjanya tidak sesuai prosedur, menjual belikan obat generik, dan mempersulit pengurus SKTM,ujar dia.
Menjawab tuntutan tersebut, drg. Yudhita dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menegaskan bahwa masalah kontribusi bagi pasien miskin bisa saja dibebaskan asal datanya memang valid warga miskin.
Dalam hal pendataan warga miskin di DKI Jakarta, Drg. Yudhita dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta mengakui bahwa pendataan warga miskin di DKI Jakarta kurang tepat karena kenyataannya masih banyak orang miskin yang tidak terdata. Untuk itu pihaknya akan segera membentuk tim di 5 Sudinkes seluruh DKI.
Dalam kesempatan itu juga Ketua DKR Jabodetabek menegaskan bahwa, sebenarnya pendataan orang miskin sudah tidak dibutuhkan apabila negara memenuhi hak seluruh warga negaranya dengan membebaskan pembiayaan pelayanan kesehatan.
“Masalahnya justru sebaliknya, justru partai-partai politik, DPR, LSM dan serikat buruh yang menginginkan agar negara memungut iuran dari rakyatnya secara langsung ataupun potongan upah. Mereka tergabung dalam kelompok yang mendukung pelaksanaan UU SJSN dan mendesak pengesahan RUU BPJS, jelasnya
Jadi menurut dia, selama kesehatan masyarakat yang menjadi tanggung jawab negara diserahkan kedalam bisnis asuransi maka, persoalan kesehatan masyarakat tidak akan pernah tuntas. (evn/nov)
Tolak Pasien Gakin, Izin Rumah Sakit Dicabut
JAKARTA (Pos Kota) – Ancaman pencabutan izin akan dilayangkan pada rumah sakit yang nekad menolak atau mempersulit proses pelayanan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu. Jamin kesehatan warga miskin, Pemprov DKI alokasikan anggaran Rp413 milyar.
Rekomendasi sanksi tersebut sesuai dengan Undang-Undang Tentang Rumah Sakit No.44 dan Peraturan Daerah (Perda) Tentang Sistem Kesehatan Daerah (Siskesda). Hal tersebut diungkapkan Dien Emawati, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI, yang menyatakan bahwa hal tersebut dikeluarkan jika rumah sakit yang bersangkutan tidak menggubris surat teguran yang dilayangkan instansinya.
Selain itu ditambahkan Dien, Dinkes DKI juga telah menginformasikan bagi rumah sakit untuk memberikan toleransi bagi pasien saat dalam perawatan Unit Gawat Darurat (UGD) yakni selama 3×24 jam. Kebijakan ini berlakubagi 85 rumah sakit yang berada di Jakarta. Langkah ini dilakukan sebagai upaya memberi kesempatan pihak keluarga pasien tidak mampu untuk mengurus surat Jaminan Pelayanan Kesehatan bagi keluarga Miskin (JPK Gakin) ataupun Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
Sebagai koordinasi, diungkapkan Dien setiap bulan dirinya juga rutin melakukan pertemuan dengan 85 pimpinan rumah sakit tersebut. Salah satunya membahas kebijakan pelaksanaan JPK – Gakin dan SKTM. “Tidak ada alasan lagi rumah sakit menolak pasien gakin, karena mereka telah dibiayai pemerintah,” ujar Dien, Rabu (26/5)
Secara terpisah Yudita Endah, Kabid Perencanaan dan Anggaran Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI,dirinya tidak menampik jika terdapat banyak kasus tersebut terjadi di beberapa rumah sakit di Jakarta. Namun terdapat dua kemungkinan masalah ini terjadi,yang pertama rumah sakit tidak berani menanyakan pasien mendapat jaminan kesehatan dalam bentuk apa atau pasien yang tidak berani mengaku bahwa dirinya merupakan pasien dengan JPK Gakin.
Berbagai alasan mendasari hal ini diantaranya khawatir akan mendapat pelayanan yang tidak maksimal dari pihak rumah sakit.
Analisa ini dikatakan Yudita dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap beberapa kasus yang terjadi. Sehingga untuk mengatasinya, Yudita mengatakan pihaknya secara berjenjang telah melakukan sosialisasi terhadap seluruh rumah sakit. “Keterbukaan antara pasien dengan pihak rumah sakit sangatlah penting, sehingga tidak ada kesalahan komunikasi,” ujar Yudita, Rabu (26/5). Namun Yudita, menilai masalah pasien gakin sepatutnya tidak terjadi seandainya adanya koordinasi rumah sakit dengan Dinkes DKI.
Lebih lanjut Yudita menyatakan dalam mengkalsifikasikan kelompok masyarakat Dinkes DKI sendiri telah melakukan pengukuran tingkat ekonomi masyarakat. Sehingga pemberian jaminan kesehatan oleh pemerintah daerah ini tepat sasaran. Diantaranya SKTM maupun JPK-Gakin diberikan pada warga yang memiliki pendapatan kurang dari Rp600 ribu setiap bulannya.
Kebijakan ini dilakukan lantaran tidak jarang warga yang mampu turut memanfaatkan SKTM untuk mendapata layanan kesehatan yang murah. “ Untuk lebih tepat sasaran jaminan kesehatan bagi warga ibukota akan masuk dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Daerah,” sambungnya.
Sementara itu untuk menjamin kesehatan warga tidak mampu di Jakarta, Pemprov DKI mengalokasikan anggaran sebesar Rp413 milyar dalam APBD 2010. Dana ratusan milyar rupiah ini disiapkan pada pagu anggaran JPK Gakin, SKTM dan penanggulangan korban bencana.(guruh) (Sumber: http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/05/26/tolak-pasien-gakin-izin-rumah-sakit-dicabut)
Rekomendasi sanksi tersebut sesuai dengan Undang-Undang Tentang Rumah Sakit No.44 dan Peraturan Daerah (Perda) Tentang Sistem Kesehatan Daerah (Siskesda). Hal tersebut diungkapkan Dien Emawati, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI, yang menyatakan bahwa hal tersebut dikeluarkan jika rumah sakit yang bersangkutan tidak menggubris surat teguran yang dilayangkan instansinya.
Selain itu ditambahkan Dien, Dinkes DKI juga telah menginformasikan bagi rumah sakit untuk memberikan toleransi bagi pasien saat dalam perawatan Unit Gawat Darurat (UGD) yakni selama 3×24 jam. Kebijakan ini berlakubagi 85 rumah sakit yang berada di Jakarta. Langkah ini dilakukan sebagai upaya memberi kesempatan pihak keluarga pasien tidak mampu untuk mengurus surat Jaminan Pelayanan Kesehatan bagi keluarga Miskin (JPK Gakin) ataupun Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
Sebagai koordinasi, diungkapkan Dien setiap bulan dirinya juga rutin melakukan pertemuan dengan 85 pimpinan rumah sakit tersebut. Salah satunya membahas kebijakan pelaksanaan JPK – Gakin dan SKTM. “Tidak ada alasan lagi rumah sakit menolak pasien gakin, karena mereka telah dibiayai pemerintah,” ujar Dien, Rabu (26/5)
Secara terpisah Yudita Endah, Kabid Perencanaan dan Anggaran Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI,dirinya tidak menampik jika terdapat banyak kasus tersebut terjadi di beberapa rumah sakit di Jakarta. Namun terdapat dua kemungkinan masalah ini terjadi,yang pertama rumah sakit tidak berani menanyakan pasien mendapat jaminan kesehatan dalam bentuk apa atau pasien yang tidak berani mengaku bahwa dirinya merupakan pasien dengan JPK Gakin.
Berbagai alasan mendasari hal ini diantaranya khawatir akan mendapat pelayanan yang tidak maksimal dari pihak rumah sakit.
Analisa ini dikatakan Yudita dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap beberapa kasus yang terjadi. Sehingga untuk mengatasinya, Yudita mengatakan pihaknya secara berjenjang telah melakukan sosialisasi terhadap seluruh rumah sakit. “Keterbukaan antara pasien dengan pihak rumah sakit sangatlah penting, sehingga tidak ada kesalahan komunikasi,” ujar Yudita, Rabu (26/5). Namun Yudita, menilai masalah pasien gakin sepatutnya tidak terjadi seandainya adanya koordinasi rumah sakit dengan Dinkes DKI.
Lebih lanjut Yudita menyatakan dalam mengkalsifikasikan kelompok masyarakat Dinkes DKI sendiri telah melakukan pengukuran tingkat ekonomi masyarakat. Sehingga pemberian jaminan kesehatan oleh pemerintah daerah ini tepat sasaran. Diantaranya SKTM maupun JPK-Gakin diberikan pada warga yang memiliki pendapatan kurang dari Rp600 ribu setiap bulannya.
Kebijakan ini dilakukan lantaran tidak jarang warga yang mampu turut memanfaatkan SKTM untuk mendapata layanan kesehatan yang murah. “ Untuk lebih tepat sasaran jaminan kesehatan bagi warga ibukota akan masuk dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Daerah,” sambungnya.
Sementara itu untuk menjamin kesehatan warga tidak mampu di Jakarta, Pemprov DKI mengalokasikan anggaran sebesar Rp413 milyar dalam APBD 2010. Dana ratusan milyar rupiah ini disiapkan pada pagu anggaran JPK Gakin, SKTM dan penanggulangan korban bencana.(guruh) (Sumber: http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/05/26/tolak-pasien-gakin-izin-rumah-sakit-dicabut)
Lagi, layanan kesehatan warga miskin Jakarta dipersoalkan
Jakarta – Warga Jakarta kembali menuntut penghapusan ongkos layanan kesehatan bagi masyarakat miskin di Ibu Kota Jakarta. Pasalnya, hal itu membebani kehidupan masyarakat, bahkan bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) No 4/2009 Pasal 34 yang menyatakan jaminan pelayanan kesehatan (JPK) bagi masyarakat miskin sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta.
Hal ini disampaikan Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jakarta Selatan, dalam unjuk rasa yang diikuti ratusan warga miskin Jakarta, di Kantor Walikota Jakarta Selatan, Kamis (5/5).
“Persoalannya masih sering kejadian di rumah sakit, petugas Gakin tetap mengenakan pungutan kontribusi kepada pasien yang berverifikasi miskin, walaupun sudah memiliki kartu JPK Gakin. Ketika pasien menyatakan keberatan, petugas Gakin tetap memaksakan, bahkan menyuruh pasien miskin mencari hutangan,” kata Ketua DKR Jakarta Selatan, Asep Nurdin.
Selain itu DKR Jakarta Selatan juga menuntut agar di Jakarta Selatan segera didirikan RSUD, mengingat Jakarta Selatan satu-satunya kota madya di provinsi DKI yang belum memiliki RSUD. Termasuk juga menuntut peningkatan pelayanan kesehatan di puskesmas di Jakarta Selatan. Hal itu karena banyak puskesmas di wilayah tersebut yang pelayanannya masih buruk seperti jam kerja tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, pengurusan SKTM yang dipersulit, dan pasien dikenakan biaya untuk obat.
“Walaupun di Jakarta Selatan sendiri tidak pernah mendapati masalah di RS Fatmawati. Namun ketika pasien harus dirujuk keluar Jakarta Selatan barulah masalah tersebut bermunculan,” jelas Koordinator Advokasi DKR Jakarta Selatan, Abdul Wadut.
Asep Nurdin juga mengatakan bahwa beberapa puskesmas saat ini juga sering menjual obat generik.
"Kami masih menyimpan bungkus obat generik yang diperjualbelikan oleh puskesmas dan itu akan menjadi bukti kami bahwa itu bukan obat permintaan pasien. Kami akan memantau semua puskesmas yang jam kerjanya tidak sesuai prosedur, memperjualbelikan obat generik, dan mempersulit pengurusan SKTM,”ujar dia.
Menjawab tuntutan tersebut, drg. Yudhita dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menegaskan, masalah kontribusi atau biaya perobatan bagi pasien miskin bisa saja dibebaskan, asalkan datanya memang valid.
Dalam hal pendataan warga miskin di Jakarta, Yudhita mengakui bahwa pendataan warga miskin di DKI Jakarta kurang tepat karena kenyataannya masih banyak orang miskin yang tidak terdata. Untuk itu, pihaknya akan segera membentuk tim di lima Sudinkes seluruh DKI.
(brn) (Sumber: http://www.primaironline.com/berita/sosial/175355-lagi-layanan-kesehatan-warga-miskin-jakarta-dipersoalkan#)
Hal ini disampaikan Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jakarta Selatan, dalam unjuk rasa yang diikuti ratusan warga miskin Jakarta, di Kantor Walikota Jakarta Selatan, Kamis (5/5).
“Persoalannya masih sering kejadian di rumah sakit, petugas Gakin tetap mengenakan pungutan kontribusi kepada pasien yang berverifikasi miskin, walaupun sudah memiliki kartu JPK Gakin. Ketika pasien menyatakan keberatan, petugas Gakin tetap memaksakan, bahkan menyuruh pasien miskin mencari hutangan,” kata Ketua DKR Jakarta Selatan, Asep Nurdin.
Selain itu DKR Jakarta Selatan juga menuntut agar di Jakarta Selatan segera didirikan RSUD, mengingat Jakarta Selatan satu-satunya kota madya di provinsi DKI yang belum memiliki RSUD. Termasuk juga menuntut peningkatan pelayanan kesehatan di puskesmas di Jakarta Selatan. Hal itu karena banyak puskesmas di wilayah tersebut yang pelayanannya masih buruk seperti jam kerja tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, pengurusan SKTM yang dipersulit, dan pasien dikenakan biaya untuk obat.
“Walaupun di Jakarta Selatan sendiri tidak pernah mendapati masalah di RS Fatmawati. Namun ketika pasien harus dirujuk keluar Jakarta Selatan barulah masalah tersebut bermunculan,” jelas Koordinator Advokasi DKR Jakarta Selatan, Abdul Wadut.
Asep Nurdin juga mengatakan bahwa beberapa puskesmas saat ini juga sering menjual obat generik.
"Kami masih menyimpan bungkus obat generik yang diperjualbelikan oleh puskesmas dan itu akan menjadi bukti kami bahwa itu bukan obat permintaan pasien. Kami akan memantau semua puskesmas yang jam kerjanya tidak sesuai prosedur, memperjualbelikan obat generik, dan mempersulit pengurusan SKTM,”ujar dia.
Menjawab tuntutan tersebut, drg. Yudhita dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menegaskan, masalah kontribusi atau biaya perobatan bagi pasien miskin bisa saja dibebaskan, asalkan datanya memang valid.
Dalam hal pendataan warga miskin di Jakarta, Yudhita mengakui bahwa pendataan warga miskin di DKI Jakarta kurang tepat karena kenyataannya masih banyak orang miskin yang tidak terdata. Untuk itu, pihaknya akan segera membentuk tim di lima Sudinkes seluruh DKI.
(brn) (Sumber: http://www.primaironline.com/berita/sosial/175355-lagi-layanan-kesehatan-warga-miskin-jakarta-dipersoalkan#)
Dewan Kesehatan Rakyat Tuntut Pembebasan Biaya Pasien Miskin
TEMPO Interaktif, Jakarta -Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jakarta Barat unjuk rasa menuntut Pemerintah Jakarta Barat untuk mencabut kewajiban dan membebaskan biaya bagi pasien miskin yang menggunakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Menurut Ketua DKR Jakarta Barat, Lis Sugianto, selama ini masih banyak rumah sakit dan Puskesmas yang memungut biaya pasien miskin dan memegang SKTM.
Mereka juga mempersulit pasien miskin yang ingin mendapat SKTM. "Pemerintah harus menertibkan rumah sakit dan Puskesmas yang bandel itu," kata Lis dalam unjuk rasa di depan kantor Wali Kota Jakarta Barat hari ini.Lis mengatakan, iuran kontribusi itu sebenarnya juga tidak tertera dalam Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah namun ada di dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis program Keluarga Miskin (GAKIN). "Karena masih ada di petunjuk, besaran iuran itu ditetapkan sepihak oleh masing-masing petugas rumah sakit. Akibatnya, iuran itu jadi beban baru bagi masyarakat miskin."
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terdapat 33.588 keluarga miskin di Jakarta Barat. Angka itu masih di bawah Jakarta Utara sebanyak 50.291 rumah tangga, Jakarta Timur sebanyak 46.908 rumah tangga namun di atas Jakarta Pusat sebanyak 24.921 rumah tangga, Jakarta Selatan 9.608 rumah tangga dan Kepulaun Seribu dengan 573 rumah tangga.
Selain berorasi, pengunjuk rasa juga membawa spanduk bernada protes dan meneriakkan yel 'Rakyat Sehat Negara Kuat'.
ARIE FIRDAUS
(Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2011/05/11/brk,20110511-333783,id.html)
Minggu, 15 Mei 2011
JANGAN TARIK IURAN DARI RAKYAT ! STOP MEMOTONG UPAH BURUH, PNS DAN PRAJURIT ! BATALKAN UU NO 40/2004, TOLAK RUU BPJS !
Belum pernah ada undang-undang sebuas UU No 40/2004 Tentang SJSN, yang sangat terang-terangan memerintahkan pada seluruh rakyat Indonesia untuk membayar iuran pada negara. Sungguh gawat kalau ada elit Serikat Buruh, LSM, Partai Politik dan anggota-anggota DPR-nya yang masih terus mendesak terbitnya RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) seperti dalam aksi 1 Mei 2011 lalu. Mereka secara terang-terangan ingin memiskinkan rakyat dan menguntungkan bisnis asuransi yang akan dijalankan oleh BPJS.
Pada pasal 17 dari UU Nomor 40/2004 Tentang SJSN tersebut berbunyi : ayat (1) Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu, ayat (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala. dan ayat (3) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai degan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak
Mengacu pada UUD’45 maka ketiga ayat di atas secara jujur harus diakui telah penyimpangan jauh dari perintah UUD’45 Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (3) yang isinya adalah : Ayat (1)Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dan Ayat (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan.
Lebih tinggi lagi adalah bertentangan tujuan pembentukan pemerintahan seperti yang tertulis dalam Mukadimmah UUD’45 alenia keempat yang berbunyi …..Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…..
Pada ayat (1) dari pasal 17 dari UU No 40/2004 Tentang SJSN ini memerintahkan semua pekerja untuk membayar iuran untuk yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Akibat dari pasal ini adalah apabila rakyat, khususnya pekerja jika tidak membayar iuran maka tidak akan mendapatkan Jaminan sosial.
Ayat (1) ini secara terang-terangan adalah mekanisme bisnis asuransi yang menarik dana dari masyarakat untuk kepentingan bisnis. Iuran wajib selama ini sudah melekat puluhan tahun pada pekerja baik itu buruh, pegawai negeri sipil maupun prajurit militer dan petugas kepolisian. Iuran wajib dilakukan dengan pemotongan upah atau gaji buruh, PNS dan TNI/Polri oleh PT ASKES, PT JAMSOSTEK, PT TASPEN dan PT ASABRI untuk mendapatkan pelayanan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi hari tua, asuransi pensiun dan asuransi kematian.
Bisnis asuransi diatas adalah murni bisnis jual-beli jasa asuransi. Kalau tidak membayar maka tidak akan mendapatkan jasa pelayanan asuransi. Selama upah buruh, PNS dan TNI/Polri telah dipotong setiap bulannya untuk bisnis perusahaan asuransi milik negara. Rupanya belum cukup sehingga harus ada ayat (1) pasal 17 tersebut yang memastikan pasal asuransi dalam UU SJSN itu. Padahal UUD’45 Pasal 28 H ayat (1) yang menegaskan pelayanan kesehatan adalah hak, bukan proses jual-beli. Dan ayat (2) bahwa setiap orang berhak atas Jaminan Sosial, yang sekali lagi bukan dengan membeli.
Rakyat dan Buruh mengingatkan bahwa tujuan pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, seperti yang terpatri dalam Mukadimmah UUD’45.
Artinya oleh Mukadimmah,-- Pemerintah dan Negara Indonesia ditugaskan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan Umum.
Kalau ayat (1) pasal 17 tetap dicantumkan maka untuk mendapatkan rakyat harus membayar hak perlindungan dalam bentuk “jaminan sosial”, yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab negara.
Pada ayat (2) dari pasal 17 dari UU No 40/2004 Tentang SJSN, memerintahkan setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
Kita semua tahu bagaimana beratnya kehidupan ekonomi buruh, PNS dan prajurit TNI/Polri dalam sistim perburuhan dinegeri ini. Terutama sistim pengupahan yang jauh dari garis kesejahteraan yang wajar. Tugas Pemerintah dan Negara adalah memajukan kesejahteraan umum seperti yang dicantumkan oleh dalam Alenia keempat Mukadimah UUD’45 dan memastikan hak untuk hidup sejahtera lahir batin seperti yang dijamin dalam UUD’45 pasal 28 H ayat (1).
Pemberlakuan Ayat (2) di atas justru mensahkan beban ekonomi yang sangat berat bagi buruh, PNS dan TNI/Polri. Ayat ini justru memerintahkan dan mensahkan negara melakukan ekspolitasi buruh, PNS dan Prajurit yang akan dilakukan oleh pemerintah, manajemen perusahaan, maupun perorangan. Ekspolitasi yang dimaksud adalah dengan cara memotong iuran wajib dari upah atau gaji yang memang sudah rendah.
Menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana rakyat pekerja seperti buruh, PNS dan prajurit TNI/Polri dapat meningkatkan kesejahteraannya setelah upah atau gajinya dipotong. Pantaslah disimpulkan bahwa ayat (2) dari pasal 17 Pada UU No 40/2004 Tentang SJSN bertentangan dengan Tugas Pemerintah dan Negara adalah memajukan kesejahteraan umum seperti yang dicantumkan oleh dalam Alenia keempat Mukadimah UUD’45 dan memastikan hak untuk hidup sejahtera lahir batin seperti yang dijamin dalam UUD’45 pasal 28 H ayat (1).
Ayat (2) ini pun mengandung eksploitasi manusia atas manusia yang tidak ber perikemanusiaan dan perikeadilan seperti yang tercantum dalam alenia pertama dari Mukadimmah UUD’45, yang menjadi dasar utama dari kemerdekaan Indonesia.
Pada ayat (3) dari pasal 17 dari UU No 40/2004 Tentang SJSN disebutkan bahwa besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai degan perkembangan sosial, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak. Ayat ini menunjukkan bahwa besaran potongan iuran pada gaji dan upah buruh, PNS, TNI/Polri akan mengikuti perkembangan waktu, sebgai turunan pelaksanaan yang mengatur ayat (1) dan (2). Hari ini, sesuai dengan data BPS Februari 2010, Upah Minimum Regional (UMR) Rp 1. 068.399 sedangkan Gaji dan Upah rata rata Rp 1.337.753. Bisa dibayangkan hidup buruh, PNS, TNI/Polri yang upah atau gajinya harus dipotong untuk iuran membeli perlindungan yang berupa jaminan sosial yang dijual oleh negara.
Dari ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) Pasal 17 UU No 40/2004 tentang SJSN ini dapat dipastikan bahwa “Sistim Jaminan Sosial Nasional ” yang disediakan hanya berlaku bagi buruh, PNS dan TNI/Polri dan fakir miskin dan orang yang tidak mampu. Sedangkan untuk pekerja Informal, orang tua yang bukan pensiunan, bayi dan anak-anak tidak akan mendapatkan perlindungan negara berupa “Jaminan Sosial”. Padahal pengangguran, orang tua bukan pensiunan, bayi dan anak-anak merupakan kelompok rentan yang harus dilindungi oleh negara dari penyakit.
Menurut data BPS, Februari 2010, jumlah penganggur terbuka sebesar 8,59 juta yaitu (7,14%) dibanding jumlah angkatan kerja sebesar 115,99 juta orang. Sebesar 66, 94% atau 72,4 juta orang pekerja di Indonesia hanya bekerja di sektor informal. Sebagian besar pekerja informal adalah kaum tani yang tercatat sampai Agustus 2010 sebesar 41,49 juta orang. Jumlah orang tua diatas 60 tahun bukan pensiunan sebesar 16.174.000 (Bank Dunia, 2010). Jumlah balita hingga 2010 sebesar 21,57 juta orang (Bank Dunia, 2010) Jumlah usia sekolah 55,16% atau 129.74 juta (2009).
Sehingga hanya 126,8 juta dari 234 juta penduduk Indonesia yang akan mendapatkan “jaminan sosial” terdiri dari 76,4 juta rakyat miskin dan tidak mampu dan 28 juta pekerja formal dan 2,4 juta pensiunan.
Untuk itu kami menuntut :
1. JANGAN TARIK IURAN SJSN DARI RAKYAT !
2. STOP MEMOTONG UPAH BURUH, PNS DAN PRAJURIT !
3. PEMERINTAH LAH YANG WAJIB MELAKSANAKAN SISTIM JAMINAN SOSIAL!
3. BATALKAN UU NO 40/2004, TOLAK RUU BPJS !
Langganan:
Postingan (Atom)